Awal tahun ini, saya dapet banyak tantangan. Dan sebagai manusia biasa, iman saya goncang. Saya ngerasa ga ada orang di pihak saya. Sendiri… dan sebetulnya, hilang harapan.
Saya betul-betul diuji!
Di saat-saat begini, pelarian saya hanya internet. Banyak yang bias mengalihkan perhatian dan bikin saya terhibur. Sampe-sampe, untuk beberapa saat, saya lupa dengan semua masalah.
Sampe akhirnya, masalah itu juga menghampiri dunia maya; dunia yang selama ini saya anggap paling aman…
FLASH BACK ke beberapa tahun lalu, saat saya mutusin untuk gabung dengan sebuah mailing list (sebut saja milis A) yang dibuat untuk seorang finalis ajang pencarian bakat di TV. Sebelumnya, saya hanya memantau dia dari milis lain (sebut saja milis B). Tapi temen-temen di milis B (dan kebetulan gabung juga di milis A) lumayan banyak dan mereka ngajak saya ikutan. Yaaah, ga ada salahnya juga, jadilah saya subscribe ke milis A.
Awal-awal menyapa dia, masih dikacangin, tapi ga masalah, toh saya piker dia orang sibuk yang waktu itu lagi dipuja-puja banyak orang. Sampe akhirnya, dia mention saya di salah satu postingannya dan dilanjutin dengan chatting, SMSan, telpon dan sampe ketemuan.
Singkatnya, kami temenan.
Although he’s not the first television boy who made friend with me, but I’m pretty sure, he’s the nicest and the-hardest-to-forget one. Dia bikin apa yang ditulis Raditya Dika di Marmut Merah Jambu terasa sangat mengena “it’s funny when a day you saw someone on television and on the next day, you’re in a car with that someone.”
Iya, seperti itulah. Seperti sebuah mimpi-terlalu-indah yang jadi kenyataan!
November 2010, saya ketemu dia lagi setelah hampir empat tahun ga ketemu. To be honest, saya udah ngerasa ada jarak sama dia. Well, mungkin saya yang dongo yah. Awalnya dia dateng, saya langsung krisis PD; ga mau duduk di deket dia, ga mau pesen makan bareng. Tapi dia teteup baik dan ajak saya ngomong! How nice he is
Sampe akhirnya saya kembali ke habitat dan dia tenggelam dalam kesibukannya di dunia glamor itu. Saya hidup dalam penyesalan karena ga memanfaatkan momen empat tahunan –sejenis FIFA world cup laah- itu dengan baik. Tapi acara tweet-tweetan tetap jalan dong.
Saya ngetweet ke dia, ga dibales. Tapi saya ga mau ambil pusing; dia sibuk persiapan musikalnya… saya ngetweet lagi, ga dibales lagi, saya kekeuh positive thinking. Sampe akhirnya, 21 desember dia bales tweet saya, ngucapin makasih untuk dukungan saya. Lega… banget! Tapi who knows, itu tweet terakhir yang saya terima dari dia? Bahkan ucapan selamat natal dan tahun baru juga enggak dibales! Dan seterusnya dan seterusnya… padahal, dia bales mention temen lain!
Kesabaran saya habis dan saya bikin janji dalam hati untuk ga akan pernah mention dia lagi. Beberapa kali saya gagal, tapi ga jarang saya berhasil menghapus lambing @ di depan usernya ketika ada teman yang mention kami berdua bersamaan. Dan bahkan, saya menghapus beberapa mention saya ke dia.
Mungkin ini klimaksnya. Saya bener-bener harus pergi dari dunianya. Toh, dia ga bakal ngerasain kalo saya pergi. I’m nobody while he’s somebody! Satu hal yang pengen saya tanya ke dia, “sebenernya salah gue apa?”
Saya tau, sekarang karirnya makin menanjak, dia semakin bersinar dan akan semakin banyak Sarah lain yang datang ke hidupnya. Jadi, ga masalah kalo dia hanya kehilangan satu Sarah. Right?
Saya tetap bangga dan mendukung dia… dari jauh sekarang. Dan kalo nanti suatu hari saya melihat dia yang lebih besar, saya akan ingatkan di dalam hati, “dia mantan teman gue.”
No comments:
Post a Comment